seputar anestesi, blog ini sebagai wahana tempat diskusi tentang anestesi dan reanimasi, dan belajar bikin blog, juga diskusi masalah lain, kaya ppds bk depkes, yang ilmu pengetahuan oriented. mohon saran bila ada yang berkenan memberi saran..

Rabu, 21 Januari 2009

GCS (Glasgow Coma Scale)

Penilaian derajat kesadaran dengan menggunakan skor GCS ( Glasgow Coma Scale)
penilaian ini sudah disepakati secara internasional, dan dipakai semua tenaga kesehatan sehingga bisa menjelaskan keadaan paseien dengan interpretasi yang sama.

Eye (buka mata)

4 : spontan
3 : dgn perintah
2 : dgn rangsang nyeri
1 : no respons


Verbal (bicara) :

5 : kalimat dgn orientasi +
4 : kalimat +, disorientasi
3 : bicara kacau (kata)
2 : mengerang
1 : tidak ada suara


Motorik (gerak) :

6 : mengikuti perintah
5 : melokalisir nyeri
4 : menghindar nyeri
3 : fleksi abnormal
2 : ekstensi abnormal
1 : tdk ada pergerakan

benzodiazepin

by : Faisal H. (SAL)

PENDAHULUAN

1. BDZ mempunyai 5 efek utama: a. Anxyolisis
b. Sedasi
c. Anti konvulsan
d. Spinal-cord mediated skeletal muscle
relaxation
e. Antegrade amnesia
2. Efek amnesia lebih lama daripada efek sedasi.
3. Efek relaksasi muskuloskeletal tidak cukup untuk pembedahan.
4. Efektif untuk tx insomnia akut tetapi tidak untuk yang kronik.
5. Dibandingkan dengan barbiturate, BDZ:
- Potensi toleransi lebih kecil
- Potensi disalahgunakan lebih kecil
- Lebih aman jika overdosis karena ada antagonis yang spesifik yaitu Flumazenil.
4. Lebih jarang berinteraksi dengan obat lain.

MECHANISM OF ACTION

1. Semua efek BDZ terjadi karena fasilitasi GABA (neurotransmiter inhibitif utama di
CNS).
2. BDZ tidak mengaktivasi GABA tetapi meningkatkan afinitas reseptor GABA terhadap
GABA.
3. Efek sedasi karena aktivasi subunit alpha-1 reseptor GABA (banyak di korteks
serebri, cortex serebeli dan thalamus)
4. Efek anxyolisis karena aktivasi subunit alpha-2 reseptor GABA (banyak di
hipocampus dan amygdala)
5. Selain BDZ ada obat yang bekerja pada reseptor GABA dengan mekanisme yang berbeda
yaitu: -Barbiturat
-Etomidat
-Propofol
-Neurosteroid
-Alkohol
6. BDZ, barbiturat, dan alkohol saling sinergis untuk inhibisi CNS  membahayakan
jiwa.
7. BDZ mengurangi cardiac oxygen demand dengan mengurangi Heart Rate dan
memvasodilatasi a. Coronaria  jadi BDZ bersifat kardioprotektif selama IMA
mekanisme: mengurangi degradasi adenosin (dengan meninhibisi transporter
adenosin) yang merupakan regulator fungsi jantung yang penting.


EFEK SAMPING

1. Fatique dan drowsiness merupakan efek samping yang paling sering pada
penggunaan lama BDZ.
2. Penggunaan lama tidak mempengaruhi tensi, HR, maupun irama jantung.
3. Hindari penggunaan BDZ pada COPD
4. Gangguan koordinasi motorik dan fungsi kognitif sering terjadi pada penggunaan
BDZ bersama dengan depresan CNS yang lain.

DRUG INTERACTION

1. Sinergis dengan depresan CNS yang lain yaitu:
- alkohol
- obat anestesi  dapat mengurangi kebutuhan obat anestesi
- opioid  BDZ punya potensiasi efek depresi ventilasi dengan opioid
tetapi sebaliknya justru mengurangi efek analgesi opioid.
- alpha-2 agonis

HY POTHALAMIC-PITUITARY ADRENAL AXIS

1. BDZ mensupresi hypothalamic-pituitary adrenal axis  penurunan kadar kortisol
2. Pada binatang, alprazolam menginhibisi sekresi ACTH dan kortisol  bisa untuk
terapi antidepresi.

KETERGANTUNGAN

1. BDZ bisa sebebkan ketergantungan terutama pada penggunaan >6 bulan pada
dosis rendah.
2. Tanda-tanda withdrawal : -iritability
-insomnia
-tremulousness

AGING

1. Lorazepam, oxazepam, dan temazepam lebih dipilih untuk usia tua daripada diazepam
karena tidak terbentuk metabolit aktif.
2. Penggunaan lama BDZ bisa mempercepat penurunan fungsi kognitif pada usia tua.

PLATELET AGGREGATION

1. BDZ menginhibisi Platelet-activating factor sehingga akan mencegah agregasi
trombosit.



Under construction…..

outcome pasien cedera otak berat

OUTCOME PASIEN CEDERA OTAK BERAT YANG MENDAPAT TERAPI LIFE SUPPORT

by : Reza, Efri , Pri

Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala skunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolic. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.
Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%.
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita
Penyebab cedera kepala skunder antara lain : penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema cerebri, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).


Klasifikasi trauma kepala berdasar pada penilaian GCS (Glasgow Coma Scale), yaitu

Eye (buka mata)

4 : spontan
3 : dgn perintah
2 : dgn rangsang nyeri
1 : no respons Verbal :

5 : kalimat dgn orientasi +
4 : kalimat +, disorientasi
3 : bicara kacau (kata)
2 : mengerang
1 : tidak ada suara Motorik (gerak) :

6 : mengikuti perintah
5 : melokalisir nyeri
4 : menghindar nyeri
3 : fleksi abnormal
2 : ekstensi abnormal
1 : tdk ada pergerakan


Klasifikasi :
GCS ≤ 8 Cedera otak berat
GCS 9 – 12 Cedera otak sedang
GCS ≥ 13 Cedera otak ringan


Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk meningkatkan ADO.

Ada 5 kemungkinan hasil akhir (outcome) yang diperoleh setelah melakukan pertolongan yang maksimal pada coma atau cedera otak berat :
1. Good recovery
Bila penderita dapat bertahan hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan tanpa ada (atau bila ada minimal) kelainan neurologis)
2. Moderate disability
Bila penderita dapat hidup mandiri tanpa ada kelainan neurologis dan intelektual
3. Severe disability
Kesadaran penderita baik, tapi untuk melakukan kegiatan sehari-hari masih memerlukan bantuan orang lain
4. Vegetative state
5. death

Pada pasien tidak sadar pertama kita lakukan primary survey untuk secepat mungkin menemukan kelainan yang mengancam jiwa (cepat mematikan) yang meliputi A (Airway - menilai jalan napas), B (Breathing – pernapasan), C (Circulation – mengatasi perdarahan), D (Disability – menilai kesadaran). Survey primer ini bertujuan untuk memberikan pertolongan yang memadai untuk menyelamatkan jiwa, yang meliputi resusitasi dan stabilisasi. Lalu dikerjakan survey sekunder yang dilakukan bila ABC sudah stabil.

Sabtu, 10 Januari 2009

general anestesi

DOSIS OBAT YANG DI BIDANG ANESTESI

Sulfas atropine
0,01 – 0,02 mb/kgbb ( 1 amp = 1ml *** 0,25 mg/ml )

Pethidine
0,5 – 1 mg/kgbb ( 1 amp = 2 ml *** 50 mg/ml )

Suksinil kolin
1 – 2 mg/kgbb ( 1 amp = 10 mg *** 20 mg/ml )

Atrakurium
Intubasi = 0,5 – 0,6 mg/kgbb
Maintenance = 0,1 – 0,2 mg/kgbb
( 1 amp = 5 ml *** 10 mg/ml )

Dormicum
0,1 – 0,2 mg/kgbb ( 1 amp = 5 ml *** 1 mg/ml )

Jumat, 09 Januari 2009

premediaksi

PREMEDIKASI



Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi adalah untuk memberikan sedasi psikis, mengurangi rasa cemas dan melindungi dari stress mental atau factor-faktor lain yang berkaitan dengan tindakan anestesi yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah terjadinya sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus diperhatikan betul pada pra bedah.

Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian yaitu reaksi somatic (voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatic ini timbul didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau menghindari kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi terhadap manifestasi efek somatic tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan Nampak tenang. Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan syaraf simpatis untuk menimbulkan perubahan system sirkulasi dalam tubuh. Perubahan ini disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh darah, dan sebagian karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergic dari rasa takut timbul dikorteks cerebri dan dapat ditekan dengan tiduratau dengan sedativa yang mencegah kemempuan untuk menjadi takut. Reaksi kardiovaskular secara neurologis berbeda dengan rasa takut, karena arcus reflek yang tersangkut seluruhnya ada dibatang otak dibawah sensorus thalamus. Ini berarti pendekatan klinis untuk menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir dari reaksi adrenergic terhadap rasa takut ialah meningkatnya detik jantung dan tekanan darah. Maka umumnya tujuan pemberian obat premedikasi adalah menghilangkan kecemasan, mendapat sedasi, mendapat analgesi, mendapat amnesi, dan mendapat efek antisialogoque. Disamping itu pada keadaan tertentu juga menaikkan pH cairan lambung, mengurangi volume cairan lambung, dan mencegah terjadinya reaksi alergi.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjngan pra bedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan memperhitungkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada anak), riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah diberi anestesi sebelumnya), riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat berpengaruh pada jalannya anestesi (missal MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotic tertentu), perkiraan lamanya operasi, macamnya operasi (missal terencana, darurat, pasien rawat inap atau rawat jalan) dan rencana obat anestesi yang akan digunakan.

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakansebagia obat premedikasi dapat digolongkan seperti dibawah ini. (beberapa contoh yang ada di Indonesia)


Golongan Obat


Contoh

Barbiturate


Luminal

Narkotik


Petidin



Morfin

Benzodiazepine


Diazepam



Midazolam

Butyrophenon


Dehydrobenperidol

Antihistamin


Prometazine

Antasida


Gelusil

Anticholinergik


Atropine

H2 receptor antagonis


Cimetidin


Karena khasiat obat premedikasi ynag berlainan tersebut, dalam praktek sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapat hasil yang diinginkan, misalnya :

Kombinasi narkotik, benzodiazepine, dan anticholinergik

Kombinasi narkotik, butyrophenon dan anticholinergik

Kombinasi narkotik, antihistamin dan anticholinergik

Pada keadaan tertentu perlu diberikan antasida.


Barbiturate

Kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi akan lebih baik bila diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena rasa cemas, hospitalisasi atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan insomnia. Untuk itu dapat digunakan golongan barbiturate per oral sebelum waktu tidur. Selain itu barbiturate juga digunakan obat premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah dpat menimbulkan sedasi, efekterhadap depresi respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak berubahnya respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi minimal dan tidak menimbulakn efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan peroral. Premedikasi per oral belum dapat dibudayakan di Indonesia (terutama bagi golongan menengah / bawah), karena masih ditakutkan bila disamping minum obat, pasien tidak dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak.

Kerugian penggunaan barbiturate termasuk tidak adanya efek analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya. Barbiturate merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut intermitten porphyria.


Narkotik

Morfin dan pethidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialahmemudahkan induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesi pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernapasan buatan, dapat diantagonisisr dengan naloxon.

Narkotik ini dapat menyeabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebaabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturate, narkotik ini dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di medulla. Bila pasien dalam posisi tidur akan mengurangi efek tersebut.

Morfin diberikan dengan dosis 0,1 – 0,2 mg/kbBB, sedang petidin dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB. Pada orang tua dan anak-anak diberikan dosis lebih kecil.


Benzodiazepine

Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja pada reseptor otak yang spesifik, mengahisilkan efek anti anxiety yang selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, depresi napas, mual dan muntah. Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Selain itu juga rasa sakit pada penyuntikan im. Serta absorbs sistemik yang jelek setelah pemberian im.

Benzodiazepine yang larut dalam airdan cepat diabsorbsi setelah pemberian intramuscular, yaitu midazolam. Keuntungan obat ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada penyuntikan baik im atau iv.

Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10mg, sedang pada anak kecil 0.2 – 0.5 mg/kgBB. Midazolam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Penggunaan midazolam ini harus dengan pengawasan ketat, karena kemungkinan terjadi depresi respirasi.


Butyrophenon

Dari golongan ini droperidol dengan dosis ,5 5 mg i.m digunakan sebagai obat premedikasi dengan kombinasi narkotik. Keuntungan sangat besar dari penggunaan obat ini ialah efek anti emetic yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk digunakan pada pasien – pasien dengan resiko tinggi, missal pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan obesitas. Dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis 1 – 1,5 mg.

Kadang-kadang pada psien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan dysphoria (pasien merasa takut mati). Droperidol juga mempunyai efek blockade terhadap dopaminergik reseptor sehingga dapat menimbulkan gejala extrapiramidal pada psien yang normal. Selain itu juga mempunyai efek alpha adrenergic antagonis yang ringan, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien hipertermi sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu di ingat akan terjadinya relative hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi / rhinitis vasomotorika sebaiknya penggunaan obat ini dihindari.


Antihistamin

Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi ialah promethazin (phenergen) dengan dosis 12,5 – 25 mg i.m pada orang dewasa. Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronkiale.


Antikholinergik

Atropine mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari asetylcholin. Atropine ini dapat menembus barier lemek misalnya blood brain barrier, plasenta barrier dan tractus gastrointestinal.

Reaksi tersering dari pemakaian obat ini ialah menghasilkan efek anti sialogoque, mengurangi sekresi ion asam lambung, menghambat reflek bradikardia dan efek sedative dan amnestik (terutama scopolamine). Efek lain yang merugikan adalah nadi yang meningkat, midriasis, cyclopegia, kenaikan suhu, mengeringnya secret jalan napas dan pada CNS toxicity terjadi gelisah dan agitasi.


Antasida

Pemberian antasida 15 – 30 menit prainduksi hamper 100% efektif untuk menaikkan pH asam lambung diatas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan acid aspiration syndrome atau disebut juga Mendelson syndrome. Yang dianjurkan ialah preparat yang mengandung Mg – trisiklat.


Histamine H-reseptor antagonis

Obat ini akan melawan kemepuan histamine dalam meningkatkan sekresi cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan disebutkan bahwa pemberian cimetidine oral 300 mg, 1 – 1,5 jam pra induksi dapat menaikkan pH cairan lambung diatas ,5 sebanyak lebih dari 80% pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam sebelum induksi dimulai.


Rangkuman

Kunjungan pra anestesi dan pembedahan merupakan rangkaian untuk menetukan pem apa yang akan diberikan. Tanpa melihat pasien akan menyebabkan kesalahan dosis obat premedikasi yang dapat merugikan pasien. Perhatian khusus pada bayi dibawah 2 tahun dan orang tua diatas 60 tahun.

Menentukan dosis obat premedikasi yang tepat merupakan permulaan dari keamanan tindakan anestesi.

Rabu, 07 Januari 2009

cara pre operasi visit

Cara melakukan Pre op visit ke pasien:

1. Memperkenalkan diri pada perawat ruangan dimana pasien dirawat, dan mengajak perawat untuk ikut dalam tindakan Pre op yang akan kita lakukan.

2. Persiapan :

- Memastikan kejelasan identitas pasien yang akan di pre op (dari data statusnya atau dari data dari teman sejawat atau perawat yang sudah memeriksa)

- Melihat diagnosa yang telah dibuat

- Melihat semua data pemeriksaan klinis dan laboratoris yang sudah ada.

- Memastikan prosedur bedah yang akan dilakukan

- Meminta perawat untuk memperkenalkan kita ke pasien sebelum kita datang memeriksa pasien.

3. Datang ke pasien dengan SASETA (salam senyum sapa), memperkenalkan diri ke pasien dan atau keluarga serta menjelaskan tujuan kita memeriksa pasien

4. Membangun hubungan baik dengan pasien dan atau keluarganya, misalnya dengan menanyakan pekerjaannya, anak-anak nya dll.

5. Melakukan pengumpulan data yaitu dengan menanyakan keluhan utama dan melakukan anamnesa (autoanamnesa maupun heteroanamnesa), menanyakan riwayat kesehatan pasien sebelumnya (riwayat penyakit penyerta, riwayat anestesi sebelumnya, obat yang pernah atau sedang dikonsumsi, riwayat alergi, kebiasaan merokok atau minum alcohol, dsb.)

6. Lalu melakukan pemeriksaan fisik lengkap ( head to toe )

7. Menjelaskan hasil pemeriksaan yang kita lakukan

8. Menjelaskan tindakan anestesi atau persiapan pembedahan yang akan kita lakukan maupun obat-obat yang akan kita berikan sejelas mungkin

9. Memberikan ucapan terima kasih dan salam penutup pada pasien dan perawat yang membantu

10. Melakukan evaluasi ulang pada semua data yang kita kumpulkan, dan membuat langkah tindakan lain yang mungkin perlu pada pasien selama pre operasi

11. Melakukan pemeriksaan ulang pada apsien bila perlu

12. Menentukan pasien layak atau tidak menjalani operasi